Running Neon Text

Rabu, 11 Juni 2014

tugas ilmu budaya dasar ke-3 no.2


Kontradiksi Keputusan Terhadap Kejahatan Narkoba

Perdebatan hukuman mati tak kunjung selesai dari dulu sampai sekarang. Sebagian menilai hukuman tersebut yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukan oleh seseorang. Sebagian lainnya menilai hal itu melanggar hak asasi manusia. Penerapan hukuman mati di Indonesia merupakan warisan hukum Belanda, melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan perundang-undangan yang ada masih berlaku sebelum diadakan yang baru menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan dikuatkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang pemberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) menjadi KUHP.
Belanda sendiri telah menghapus hukuman mati sejak 1870 kecuali untuk kejahatan militer.
Hukuman mati memang telah dihapus pada tahun 1870, hukuman mati adalah sarana penal yang terakhir, karena apabila seorang pelaku kejahatan telah melakukan sutau kejahatan yang luar biasa serta mengancam keutuhan sebuah negara tentu kejahatan itu bukan sebuah yang biasa, contoh seperti teroris apakah mungkin masyarakat dapat menerima kembali seorang pelaku teror, ditengah2 kehidupan masyarakat, saya pikir sebuah kejahatan yang luar biasa pantas jika mendapat suatu vonis berupa hukuman mati. Selain itu hukuman lain diterapkan pada penggunaan narkoba. Seperti dalam UU seperti dibawah ini :
UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
Pasal 59 ayat (2)
UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
Pasal 80 ayat (1), (2), (3) Pasal 82 ayat (1), (2), dan (3)

Diatas adalah pasal-pasal yang mengenai narkoba. Selain hukuman mati pelanggaran penggunaan narkoba juga dikenai hukuman paling lama 10 hingga 20 tahun. Hal ini sebanding dengan efek negatif dari penggunaan narkoba. Lalu denda yang dikenakan bagi pengguna yaitu dari  Rp.500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) hingga Rp.1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).


UU No 5 dan UU No 22 Tahun 1997

Tugas Ilmu Budaya Dasar ke-3, no.1


Pendapat Tentang Pedofilia Dan Solusinya

Pedofilia didefinisikan sebagai gangguan kejiwaan pada orang dewasa atau remaja yang telah mulai dewasa (pribadi dengan usia 16 atau lebih tua) biasanya ditandai dengan suatu kepentingan seksual primer atau eksklusif pada anak prapuber. Anak harus minimal lima tahun lebih muda dalam kasus pedofilia remaja (16 atau lebih tua) baru dapat diklasifikasikan sebagai pedofilia. Para penderita pedofilia biasanya adalah seorang laki-laki yang pada saat puber tersebut banyak di antara mereka mempunyai ledakan hormon sehingga nafsu akan kepentingan seksual tidak bisa dikendalikan. Karena nafsu mereka yang tidak bisa dikendalikan makan orang tersebut dapat mengkesampingkan akal sehat mereka.

Korban penderita pedofilia rata-rata atau kebanyakan adalah laki-laki, kenapa teradi demikian?. Si penderita tersebut jika melampiaskan kepada perempuan remaja atau dewasa tidak akan bisa karena mereka akan menolak dan melaporkannya langsung. Ini sebabnya para penderita pedoilia lebih memakan korban anak-anak. Penderita pedofilia melampiaskan kepada anak-anak karena anak-anak cenderung akan menutup dirinya jika terjadi hal yang memilukan. Sehingga perlakuan yang keji itu tidak akan diketahui. Perilaku cabul ini sangatlah tidak menyenangkan maka pelaku pedofil harusnya diberi hukuman.

Efek buruk pada korbannya adalah akan merusak mentalnya. Mereka akan sering berdiam diri dan mengurung diri dari dunia luar. Selain itu orang tuanya juga akan merasa malu. Dilihat dari banyaknya efek buruk yang terjadi maka keadian cabul ini sangatlah tidak bisa.
Oleh sebab itu agar keadian ini tidak terjadi lagi, haruslah mempunyai pencegahan. Dengan cara orang tua harus selalu mengawasi anaknya. Sering mengobrol dengan anaknya agar si anak terbuka kepada orangtuanya juga. Jika anak sering diam dan mengurung/menutup dirinya para orang tua haruslah curiga akan hal ini. Bisa saja telah terjadi sesuatu pada anak itu. maka orang tua lah yang sangat penting dalam mengawasi anaknya. Karena orang tua adalah orang yg paling dekat dengan anak.