Kontradiksi Keputusan Terhadap Kejahatan Narkoba
Perdebatan
hukuman mati tak kunjung selesai dari dulu sampai sekarang. Sebagian menilai
hukuman tersebut yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukan oleh
seseorang. Sebagian lainnya menilai hal itu melanggar hak asasi manusia. Penerapan
hukuman mati di Indonesia merupakan warisan hukum Belanda, melalui ketentuan
Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih berlaku sebelum diadakan yang baru menurut
peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan dikuatkan dengan UU Nomor 1
Tahun 1946 tentang pemberlakuan
Wetboek van
Strafrecht (WvS) menjadi KUHP.
Belanda sendiri telah menghapus hukuman
mati sejak 1870 kecuali untuk kejahatan militer.
Hukuman mati memang telah dihapus pada tahun 1870, hukuman
mati adalah sarana penal yang terakhir, karena apabila seorang pelaku kejahatan
telah melakukan sutau kejahatan yang luar biasa serta mengancam keutuhan sebuah
negara tentu kejahatan itu bukan sebuah yang biasa, contoh seperti teroris
apakah mungkin masyarakat dapat menerima kembali seorang pelaku teror,
ditengah2 kehidupan masyarakat, saya pikir sebuah kejahatan yang luar biasa
pantas jika mendapat suatu vonis berupa hukuman mati. Selain itu hukuman lain
diterapkan pada penggunaan narkoba. Seperti dalam UU seperti dibawah ini :
UU No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika
|
Pasal 59 ayat (2)
|
UU No 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika
|
Pasal 80 ayat (1), (2), (3) Pasal 82 ayat
(1), (2), dan (3)
|
Diatas adalah pasal-pasal yang mengenai narkoba. Selain
hukuman mati pelanggaran penggunaan narkoba juga dikenai hukuman paling lama 10
hingga 20 tahun. Hal ini sebanding dengan efek negatif dari penggunaan narkoba.
Lalu denda yang dikenakan bagi pengguna yaitu dari Rp.500.000.000,-
(lima ratus juta rupiah) hingga Rp.1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).
(satu milyar rupiah).
UU
No 5 dan UU
No 22 Tahun 1997