Running Neon Text

Rabu, 08 April 2015

Hak Asasi Manusia dan hukuman mati



Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 30 ayat 1, dan pasal 31 ayat 1
Dalam teori perjanjian bernegara, adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis. Pactum Unionis adalah perjanjian antara individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum unionis adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa yang dipiliah di antara warga negara tersebut (Pactum Unionis). Thomas Hobbes mengakui adanya Pactum Subjectionis saja. John Lock mengakui adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis dan JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum Unionis. Ke-tiga paham ini berpenbdapat demikian. Namun pada intinya teori perjanjian ini meng-amanahkan adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh penguasa, bentuk jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).
Pada saat ini HAM (Hak Asasi Manusia) sering di salah artikan. Dalam urusan hukum, sangatlah berkaitan, apalagi tentang hukuman mati. Ada suatu kondisi saat seorang tersangka di vonis hukuman mati, beberapa orang tidak setuju karena itu melanggar HAM. Apakah ini benar atau salah ? masih menjadi suatu kontra diksi pada kehidupan.
Sanksi hukuman mati di Indonesia sampai sekarang ini masih merupakan perdebatan hukum yang tidak ada habis-habisnya. Perdebatan hukuman mati tersebut dikarenakan disatu sisi banyak pihak yang menganggap hukuman mati justru melanggar HAM karena sifat hukuman mati itu sendiri (dianggap pembunuhan), alasan lainnya adalah banyak negara telah menghapus hukuman mati (Belanda). Bahkan secara yuridis pihak yang menolak hukuman mati mendasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 UUDHR, Pasal 28 A, Pasal 28 I ayat 1 dan Pasal 28 J Amandemen ke dua UUD 1945. Dilain pihak banyak masyarakat yang tetap setuju dengan hukuman mati dengan alasan hukuman mati menimbulkan efek jera dan memenuhi rasa keadilan. Secara yuridis pihak ini mendasarkan pada Pasal 28 J ayat 2 Amandemen UUD?45. Pembatasan UU yang dimaksud tersebar dibeberapa perundang-undangan (KUHP, UU Pengadilan HAM, UU Tindak Pidana Terorisme, dll). Disamping itu pihak yang setuju hukuman mati mendasarkan pada Pasal 3 UUDHR dimana dari pasal tersebut dinyatakan bahwa penjatuhan hukuman mati dijatuhkan untuk kejahatan yang paling berat dan hanya boleh dikenakan dengan suatu ?keputusan final suatu pengadilan yang berwewenang?. Dalam pelaksanaan hukuman mati sendiri memang ada beberapa kelemahan seperti tidak ditetapkannya batas waktu yang tegas untuk menyampaikan permohonan grasi oleh terpidana, banyak terpidana yang dijatuhkan hukuman mati dan permohonan grasinya telah ditolak dan tidak memiliki upaya hukum lain belum juga dieksekusi sehingga yang bersangkutan harus menunggu terlalu lama dengan kata lain tidak hanya mendapatkan hukuman mati tetapi juga mendapat hukuman penjara yang cukup lama. Jalan keluar masalah tersebut di atas terletak pada bagaimana hukuman mati dapat dioptimalkan sebagai sarana pencegah kejahatan disatu sisi dan bagaimana kendala-kendala  tersebut dapat diminimalisir. Ketentuan dalam RUU KUHP (Pasal 86) yang dikenal dengan Pidana Mati Percobaan perlu mendapat perhatian. Di samping itu perlu dipikirkan kembali metode pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Berikut ini adalah berita tentang hukuman mati dan HAM dikutip dari http://www.hukumonline.com
Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar Konstitusi
Ketua Sub Komisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Soelistyowati Soegondo mengatakan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap enam orang terpidana mati tidak bertentangan konstitusi. Bahkan, ia berpendapat bahwa hukuman mati sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

 Lies mengatakan bahwa setiap orang dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta peghormatan atas hak orang lain. Serta, untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat.
"Jadi, apa yang telah tertuang dalam UUD 1945 juga tertuang pula pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam amandemen kedua UUD 1945. Dengan demikian, sepanjang hukuman mati itu masih dicantumkan dalam undang-undang positif kita, maka tentunya tidak dapat dihindari adanya hukuman mati tersebut," ucapnya saat Rapat Kerja antara Komnas HAM dengan Komisi II di Gedung DPR, pada Senin (17/02).
Dukungan terhadap eksekusi para terpidana mati juga disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II dari F-TNI/Polri, Abdul Rahman Gaffar. "Hukuman mati itu asal dilakukan sesuai dengan prosedur hukum tidak ada masalah. Saya sebagai orang Islam, hukuman mati itu ada. Kalau di Makkah, diterapkan hukum qishash. Kalau dia membunuh, maka hukumannya juga dibunuh," cetusnya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh anggota Komisi II dari F-Reformasi, Patrialis Akbar. Ia mengatakan bahwa hukuman mati sebaiknya tidak cuma diterapkan terhadap para pengedar narkoba dan pelaku pembunuhan berencana, tetapi juga terhadap para koruptor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar