Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak
yang telah dipunyai seseorang sejak ia
dalam kandungan. HAM berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM tertuang dalam
deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat (Declaration
of Independence of USA) dan tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti pada pasal 27 ayat 1,
pasal 28, pasal 29 ayat 2,
pasal 30 ayat 1,
dan pasal 31 ayat 1
Dalam
teori perjanjian bernegara, adanya Pactum Unionis dan Pactum Subjectionis.
Pactum Unionis adalah perjanjian antara individu-individu atau
kelompok-kelompok masyarakat membentuik suatu negara, sedangkan pactum unionis
adalah perjanjian antara warga negara dengan penguasa yang dipiliah di antara
warga negara tersebut (Pactum Unionis). Thomas Hobbes mengakui adanya Pactum
Subjectionis saja. John Lock mengakui adanya Pactum Unionis dan Pactum
Subjectionis dan JJ Roessaeu mengakui adanya Pactum Unionis. Ke-tiga paham ini
berpenbdapat demikian. Namun pada intinya teori perjanjian ini meng-amanahkan
adanya perlindungan Hak Asasi Warga Negara yang harus dijamin oleh penguasa,
bentuk jaminan itu mustilah tertuang dalam konstitusi (Perjanjian Bernegara).
Pada
saat ini HAM (Hak Asasi Manusia) sering di salah artikan. Dalam urusan hukum,
sangatlah berkaitan, apalagi tentang hukuman mati. Ada suatu kondisi saat
seorang tersangka di vonis hukuman mati, beberapa orang tidak setuju karena itu
melanggar HAM. Apakah ini benar atau salah ? masih menjadi suatu kontra diksi
pada kehidupan.
Sanksi
hukuman mati di Indonesia sampai sekarang ini masih merupakan perdebatan hukum
yang tidak ada habis-habisnya. Perdebatan hukuman mati tersebut dikarenakan
disatu sisi banyak pihak yang menganggap hukuman mati justru melanggar HAM karena
sifat hukuman mati itu sendiri (dianggap pembunuhan), alasan lainnya adalah
banyak negara telah menghapus hukuman mati (Belanda). Bahkan secara yuridis pihak
yang menolak hukuman mati mendasarkan Pasal 3 dan Pasal 5 UUDHR, Pasal 28 A,
Pasal 28 I ayat 1 dan Pasal 28 J Amandemen ke dua UUD 1945. Dilain pihak banyak
masyarakat yang tetap setuju dengan hukuman mati dengan alasan hukuman mati menimbulkan
efek jera dan memenuhi rasa keadilan. Secara yuridis pihak ini mendasarkan pada
Pasal 28 J ayat 2 Amandemen UUD?45. Pembatasan UU yang dimaksud tersebar dibeberapa
perundang-undangan (KUHP, UU Pengadilan HAM, UU Tindak Pidana Terorisme, dll).
Disamping itu pihak yang setuju hukuman mati mendasarkan pada Pasal 3 UUDHR
dimana dari pasal tersebut dinyatakan bahwa penjatuhan hukuman mati dijatuhkan untuk
kejahatan yang paling berat dan hanya boleh dikenakan dengan suatu ?keputusan
final suatu pengadilan yang berwewenang?. Dalam pelaksanaan hukuman mati
sendiri memang ada beberapa kelemahan seperti tidak ditetapkannya batas waktu
yang tegas untuk menyampaikan permohonan grasi oleh terpidana, banyak terpidana
yang dijatuhkan hukuman mati dan permohonan grasinya telah ditolak dan tidak
memiliki upaya hukum lain belum juga dieksekusi sehingga yang bersangkutan
harus menunggu terlalu lama dengan kata lain tidak hanya mendapatkan hukuman
mati tetapi juga mendapat hukuman penjara yang cukup lama. Jalan keluar masalah
tersebut di atas terletak pada bagaimana hukuman mati dapat dioptimalkan
sebagai sarana pencegah kejahatan disatu sisi dan bagaimana
kendala-kendala tersebut dapat
diminimalisir. Ketentuan dalam RUU KUHP (Pasal 86) yang dikenal dengan Pidana
Mati Percobaan perlu mendapat perhatian. Di samping itu perlu dipikirkan
kembali metode pelaksanaan eksekusi hukuman mati.
Berikut ini
adalah berita tentang hukuman mati dan HAM dikutip dari http://www.hukumonline.com
Eksekusi Pidana Mati Tidak Melanggar
Konstitusi
Ketua Sub
Komisi Pengkajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Soelistyowati
Soegondo mengatakan bahwa eksekusi hukuman mati terhadap enam orang terpidana
mati tidak bertentangan konstitusi. Bahkan, ia berpendapat bahwa hukuman mati
sejalan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.
Lies mengatakan bahwa setiap orang
dalam menjalankan hak dan kebebasannya wajib tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta peghormatan atas hak orang lain. Serta, untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat.
"Jadi, apa yang telah tertuang dalam UUD 1945
juga tertuang pula pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam amandemen kedua
UUD 1945. Dengan demikian, sepanjang hukuman mati itu masih dicantumkan dalam
undang-undang positif kita, maka tentunya tidak dapat dihindari adanya hukuman
mati tersebut," ucapnya saat Rapat Kerja antara Komnas HAM dengan Komisi
II di Gedung DPR, pada Senin (17/02).
Dukungan terhadap eksekusi para terpidana mati juga
disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi II dari F-TNI/Polri, Abdul Rahman Gaffar.
"Hukuman mati itu asal dilakukan sesuai dengan prosedur hukum tidak ada
masalah. Saya sebagai orang Islam, hukuman mati itu ada. Kalau di Makkah,
diterapkan hukum qishash. Kalau dia membunuh, maka hukumannya juga
dibunuh," cetusnya.
Pendapat senada juga dikemukakan oleh anggota Komisi
II dari F-Reformasi, Patrialis Akbar. Ia mengatakan bahwa hukuman mati
sebaiknya tidak cuma diterapkan terhadap para pengedar narkoba dan pelaku
pembunuhan berencana, tetapi juga terhadap para koruptor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar